Politik memang tidak bisa hitam-putih. Ia merupakan wilayah abu-abu,
seringkali membuat orang yang mengamatinya terkaget-kaget; dari berdecak
kagum, kemudian menjadi pembenci. Begitu juga sebaliknya [1].
Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, tahun ini akan ada banyak partai berkompetisi memperebutkan suara rakyat.
Dari
sekian partai yang berkompetisi, ada lima partai yang dikenal sebagai
partai berbasis Islam, di antaranya adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Walaupun umat muslim mayoritas di negeri ini tetapi tidak serta merta
partai Islam menjadi pemenang, bila kita lihat data pemilu yang lalu:
Hasil Pemilihan Umum DPR [2]
Apa penyebab rendahnya elektabilitas partai? [3]
- Didera isu perpecahan partai.
- Program partai tidak terasosiasi dengan calon Presiden yang kuat.
- Tersangkut korupsi.
- Tingkat kepercayaan masyarakat ke partai rendah [4].
- Tidak punya cukup publikasi untuk menarik pemilih.
- Tidak terdengar kiprahnya.
Berikut hasil pemilu setelah berakhirnya masa orde baru, dan dimulainya lagi sistem multi partai [5-8]:
Persentase (kursi) Hasil Pemilu DPR (1999 - 2014)
Persentase (kursi) Hasil Pemilu DPR (1999 - 2014)
Bagaimana total persentase perolehan kursi dari partai-partai berbasis
Islam? Selama periode pemilu 1999 s.d 2014 perolehan kursi mereka tidak
melebihi 40% :
Persentase (kursi) DPR Partai Berbasis Islam (1999 - 2014)
Persentase (kursi) DPR Partai Berbasis Islam (1999 - 2014)
Pertanyaannya mengapa partai Islam sulit menjadi pemenang? dengan kata yang lebih mudah dipahami, mengapa partai tersebut gagal merebut hati para pemilih.
Beberapa penyebab runtuhnya parpol Islam [9]:
- Melorotnya kepercayaan publik pada partai Islam karena adanya
petinggi atau kader partai Islam yang terjerat kasus korupsi. Kejahatan
korupsi yang sangat bertentangan dengan Islam seharusnya dicontohkan
oleh parpol Islam. Namun pada kenyataannya, politikus dari parpol Islam
pun terjatuh pada kesalahan yang sama. Hingga muncul anggapan 'sama saja
partai Islam atau bukan yang penting orangnya'. Adanya fenomena 'Islam
Yes, partai Islam No'.
- Minimnya pendanaan.
- Kampanyenya
juga mirip partai lain (konvoi motor digeber-geber bikin sakit telinga,
melanggar peraturan lalu lintas, konser musik, dll) [10].
- munculnya tindakan anarkisme yang mengatasnamakan Islam sehingga berdampak pada kecemasan masyarakat.
- Konflik antar sesama umat muslim, fanatisme ideologis [11].
- Saat ini partai nasionalis pun mengakomodasi kepentingan dan
kegiatan kelompok Islam. Terlepas dari motif substantif ataupun
simbolis, banyak partai nasionalis yang membentuk majelis zikir dan
kegiatan Islam lain. "Survei (LSI) menunjukkan 57,8 persen publik
percaya partai nasionalis juga mengakomodir kepentingan masyarakat
Muslim".
Pemilih menerapkan standar (ahlak) yang lebih tinggi untuk partai Islam
dibandingkan partai lainnya. Kita berharap bahwa partai Islam adalah
partai tanpa cela, kesalahan sedikit saja bisa menyebabkan konstituennya
lari. Petinggi/kader partai Islam yang melakukan kesalahan yang sama
dengan kesalahan yang dilakukan oleh petinggi/kader partai lain akan
ditanggapi berbeda oleh para pemilih, apalagi kalau kesalahan tersebut
dilakukan oleh pemuka agama yang sekaligus petinggi/kader partai:
Katanya Ustadz kok korupsi? (https://bit.ly/2UJdr8s)
Ketika
dikhianati oleh orang yang kita percaya sekaligus kita cintai, hormati
dan teladani maka kita akan merasa sakit hati 2 kali lipat. Perasaan
kecewa, jengkel, marah, sedih bercampur aduk. Bagaimana tidak?... Lihat
saja sikap umat terhadap mereka:
- Penghormatan, ada yang
mencium tangannya saat berjabat tangan, tidak berjalan di depan mereka,
tidak menanyainya dalam keadaan yang lelah
atau bosan, tidak menyakiti hatinya (menganggap dapat menyebabkan ilmu
tidak berkah) [12].
- Memandang penuh perhatian kepadanya saat
diberi arahan (taushiyah/ceramah) [12], tanpa interupsi dan debat,
padahal kita tahu kadang isi ceramahnya salah, terutama kalau yang
mereka bahas bukan perkara agama.
- Menaati mereka dalam hal yang baik, mengikuti bimbingan dan arahan mereka [13].
- Mengembalikan urusan umat kepada mereka [13].
- Tidak menjelekkan dan menyebut kejelekannya [14].
- Di kalangan pesantren jamak ditemukan santri ‘berebut’ makanan atau
minuman sisa dari kiainya. Tidak lain, alasan mereka melakukan hal itu
adalah untuk mencari berkah (ngalap barokah) dari kiainya [15].
- Loyalitas (kesetiaan) pengikut terhadap mereka luar biasa, apabila ada
pemuka agama yang mengkritik pendapat kelompok/mahzab lain tentang
perkara agama, tak jarang para pengikutnya juga melakukan hal yang sama,
hingga mengakibatkan perdebatan panjang yang menciptakan jarak di
antara umat.
Ketika ada Ulama/petinggi partai Islam terlibat suatu tindak pidana, Pengikut/Konstituennya pun terpecah:
-
Sebagian percaya, bahwa mungkin saja tokoh tersebut melakukan
kesalahan, beliau bukanlah Nabi/Malaikat yang bebas dari kesalahan,
biarkan proses hukum yang membuktikan beliau benar/salah.
- Sebagian lagi tidak percaya, mereka menganggap telah terjadi
kriminalisasi, rekayasa politik, mereka “membabi-buta” dalam membela.
Mereka berpendapat tokoh tersebut panutan, orang suci, beliau teladan
tidak mungkin melakukan kesalahan.
Agar terhindar dari sikap di
atas, sebaiknya kita tidak hanya memiliki segelintir tokoh panutan, ada
banyak Ulama/Ustadz/Kiai di Indonesia, jadi kalau di antara mereka ada
yang berbuat kesalahan, kita tidak perlu membabi buta dalam membela
mereka, biarkan proses hukum yang membuktikan beliau benar/salah.
Dengan kelebihan dan kekurangannya. Partai Islam memiliki peran penting dan strategis. Sebagai Lembaga Legislatif (DPR/DPRD) mempunyai kewenangan menyusun Undang-Undang ataupun Perda, Partai Islam dapat berperan aktif dalam mencegah legalisasi hal-hal yang diharamkan menurut syariat Islam. Mari kita simak berita berikut:
Minol:
- https://bit.ly/2Uy7URR
- https://bit.ly/2DQ8YLm
- https://bit.ly/2S4M77L
- https://bit.ly/2WyAcgU
- https://bit.ly/2G3j4uN
Judi dan Ganja:
- https://bit.ly/2MS2COJ
- https://bit.ly/2HLsfl3
PILPRES 2019
Partai Pengusung Capres-Cawapres Pemilu 2019 [16]
Pilpres tahun ini merupakan persaingan antara koalisi yang dipimpin oleh PDIP dan koalisi yang dipimpin Gerindra, dari ke-empat calon (Capres dan Cawapres), hanya ada perwakilan dari Petinggi/Kader Gerindra dan PDIP. Berikut nama koalisi dan persentase kursi (DPR) [17]:
Koalisi Indonesia Kerja (60.3 %):
- PDIP (19.5 %)
- Golkar (16.2 %)
- PKB (8.4 %)
- PPP (7 %)
- NasDem (6.3 %)
- Hanura (2.9 %)
Koalisi Indonesia Adil Makmur (39.7 %):
- Gerindra (13 %)
- Demokrat (10.9 %)
- PAN (8.7 %)
- PKS (7.1 %)
Partai-partai Islam terpecah menjadi bagian dari 2 kubu, dengan jumlah persentase kursi (DPR) yang kurang signifikan, mereka tidak mampu mengajukan kandidat Capres maupun Cawapres, yang memprihatinkan ketika terdapat simpatisan dari kedua kubu (khususnya partai Islam) yang saling sindir/ejek karena perbedaan pilihan dalam Pilpres.
Pertanyaannya: mengapa Partai berbasis Islam tidak berkoalisi untuk
mengusung Capres-Cawapres sendiri? bukankah total persentase kursi yang
mereka miliki sebesar 31,2 %, sudah melebihi
presidential treshold,
yaitu syarat minimal pengusungan calon Presiden sebesar 20 %.
- PAN (8.7 %)
- PKB (8.4 %)
- PKS (7.1 %)
- PPP (7 %)
Dari berbagai sumber, berikut penjelasan, mengapa partai berbasis Islam sulit untuk berkoalisi membentuk poros Islam?
- Ego, setiap partai cenderung mengusung ketua umumnya sebagai calon pemimpin negara [18].
- Tidak adanya figur kuat untuk menjadi figur Capres koalisi [18].
- Parpol-parpol Islam punya segmentasi pemilih tersendiri, meragukan,
misalnya, warga NU akan memilih PAN [18]. dan Sebaliknya warga
Muhammadiyah akan memilih PKB. Adanya kekhawatiran dan anggapan "Bila
terjadi koalisi antar segmen tersebut, malah akan memperlemah. Koalisi
yang segmennya tidak saling bersinggung justru makin kuat, tidak saling
mengganggu" [19].
- Faktor historis yang pelik [17].
- Perbedaan visi, misi, dan juga ideologi serta kultural masing-masing partai [17].
- Faktor sosial seperti kebudayaan dan ekspresi agama [17]
Catatan:
- Lahirnya para pemimpin yang kurang amanah pada dasarnya diawali oleh kesalahan rakyat dalam memilih para pemimpinnya, kesalahan itu disebabkan oleh:
a) Rakyat yang tidak mengenal calon pemimpinnya, tidak tahu kebaikan dan keburukan mereka, saya pun sering bingung ketika memilih Caleg DPRD tingkat 1 dan 2, tidak ada seorang pun yang saya kenal (kebaikan dan keburukannya). Hal ini lumrah untuk sebuah negara besar, tidak mungkin semua orang saling mengenal.
b) Money politic, pada negara berkembang dimana sebagian rakyatnya kurang mampu, politik uang bisa sangat berpengaruh. Apabila menjual suara dianggap sebagai gratifikasi (korupsi), maka kitalah sebagai rakyat yang memulai korupsi.
- Tidak ada jaminan Caleg dari Partai Islam akan jujur dan amamah dalam menjalankan tugas, tapi ingat... secara sistem sangat sulit bagi Partai Islam untuk melegalkan yang
haram (Judi, Narkoba, Minol, Prostitusi, LGBT, dll), seperti halnya
yang sudah dilegalkan di beberapa negara (https://bit.ly/2t1668c).
- Pemilih menerapkan standar (ahlak) yang lebih tinggi untuk partai
Islam dibandingkan partai lainnya. Sebagaimana standar ahlak yang
diberlakukan oleh pengikut kepada pemuka agama akan sangat berbeda
dengan standar ahlak yang diterapkaan oleh fans kepada artis idolanya.
Pemuka agama jika diterpa isu poligami bisa ditinggal oleh pengikutnya,
sedangkan artis walau telah terkena kasus asusila tetap banyak
penggemarnya.
- Perselisihan (walaupun kecil pada level akar rumput) antara ormas Islam
(misalnya NU dan Muhammadiyah) akan sangat kontra produktif ketika sudah
masuk ke area politik, akibatnya sulit bagi Tokoh suatu ormas Islam
untuk mendapatkan vote (suara) dari luar kelompoknya.
- Mengkitik
kinerja mereka yang berkuasa memanglah mudah, maklum kita tidak pernah
mengalami godaan yang mereka rasakan. Godaan (kesenangan dunia, KKN, dll) akan lebih berat saat orang
berkuasa ...... saat saya ditanya...
'Benarkah kelakuan pangeran/keluarga kerajaan Saudi yang katanya seperti
ini dan itu?'.... saya pun menjawab.... "saya tidak tahu pasti itu
benar atau salah, tapi yang pasti godaan kesenangan dunia akan lebih
berat saat orang berkuasa dan apalagi memiliki harta yang
banyak....mereka berkuasa, mereka tidak hanya memiliki mobil dan rumah
(istana) mewah, mereka juga punya kapal pesiar, jet pribadi, hotel
mewah, perusahaan besar dll....bisa dibayangkan bagaimana godaan
kesenangan dunia yang datang menggoda mereka".
- Kekuasaan (penguasa) pada negara dengan sistem kerajaan lebih besar
dibandingkan dengan sistem demokrasi, lalu bagaimana sistem (politik)
kerajaan seperti Saudi mengendalikan kinerja para penguasa...Jawabannya
adalah Syariat Islam....Lalu bagaimana Syariat Islam tetap exist sebagai
sistem hukum positif (hukum yang belaku)? ....kan kalau orang berkuasa
dan kaya ada kecenderungan maunya bebas, nggak mau diatur, otoriter
(diktator), dsb.....?
Jawabannya adalah:
Penguasa (Kerajaan) dan Pemuka Agama (Ulama) menerapkan win-win solution:
a) Ulama senang karena Negara (Kerajaan) memberlakukan Syariat Islam
sebagai hukum yang berlaku, selain itu Ulama juga mendapatkan tunjangan
(gaji) dari pemerintah.
b) Penguasa (Kerajaan) juga senang
karena Ulama yang memiliki banyak sekali pengikut mendukung stabilitas
politik (tidak memberontak).
c) Secara umum rakyat juga senang
karena harga pangan relatif murah dan stabil, rumah sakit dan sekolah
Negeri gratis (hingga Perguruan Tinggi). Rakyat pada umumnya hanya
menginginkan kedamaian hidup, para politisilah yang kadang memanaskan
situasi (https://bit.ly/2Bhc7lM).
- di Timur Tengah sengketa antara Penguasa dan Pemuka Agama sangat
menyita energi (tenaga, harta dan darah/nyawa kaum muslimin), pada suatu negara, pemerintah yang didominasi
Sunni berhadapan dengan pemberontak yang didominasi Syiah,.... ataupun
sebaliknya (di negara yang lain)....bahkan....korban konflik Sunni-Syiah lebih banyak
dibandingkan konflik Arab-Israel.
Apabila anda mempunyai
data/fakta/pendapat lain, ataupun saran dan kritik silahkan sampaikan
pada kolom komentar di bawah....terima kasih sudah mampir (membaca)...
Referensi:
[1]
https://news.detik.com/kolom/4148049/menguatnya-politik-islam-bukan-partai-islam
[2]
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia
[3]
https://nasional.tempo.co/amp/1087324/lsi-sebutkan-penyebab-elektabilitas-rendah-partai-di-pilpres-2019
[4]
https://m.merdeka.com/amp/politik/survei-lipi-prediksi-hanya-6-parpol-yang-lolos-ke-dpr.html
[5]
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_legislatif_Indonesia_1999
[6]
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_legislatif_Indonesia_2004
[7]
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_legislatif_Indonesia_2009
[8]
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_legislatif_Indonesia_2014
[9]
https://m.republika.co.id/amp/mlajoy
[10]
https://m.kaskus.co.id/thread/534213e938cb17a27b8b45bd/kenapa-partai-religius-selalu-kalah-dalam-pemilu/2/?order=asc
[11]
https://m.merdeka.com/amp/politik/minim-tokoh-islami-penyebab-partai-islam-ditinggalkan.html
[12]
https://www.dakwatuna.com/2012/12/17/25372/menghormati-ulama/#axzz5eM98Gwob
[13]
http://asysyariah.com/menghormati-dan-memuliakan-ulama/
[14]
https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2017/05/29/117571/perbaikilah-akhlak-terhadap-ulama.html
[15]
http://www.nu.or.id/post/read/100148/mencari-berkah-dari-sisa-makanan-rasulullah
[16]
https://www.cnbcindonesia.com/news/20180810195720-16-28087/inilah-peta-partai-pengusung-capres-cawapres-pemilu-2019
[17]
https://www.republika.co.id/amp/p5acz9354
[18]
https://nasional.kompas.com/read/2013/11/30/2158147/Koalisi.Partai.Islam.Bisa.Memperkuat.atau.Memperlemah
[19]
https://m.republika.co.id/amp/p75jln428